Review Webinar ACT
25-8-20 Review materi
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dari webinar bersama @psylution @stefanyvalentia
Disclaimer!
Sebelumnya ini webinar di khususnya untuk
praktisi dan yg berlatar belakang ilmu psikologi, lulusan atau mahasiswa psikologi.
Materi ini di gunakan sbg referensi untuk menangani client, tp Alhamdulillah
walaupun aku bukan sbg orang yg akan menangani client, tapi dr materi webinar
ini, bisa banget untuk membantuku dlm kehidupan sehari2, ya walaupun kalau pada
kadar tertentu tentu tetap butuh tenaga profesional.
Oke, jd ini aku share bukan dlm rangka teman2
cling bisa jd therapist atau tiba2 bisa jd menangani kasus oranglain, bukan
juga jadi membuat temen2 pembaca menghilangkan fakta objektif dlm beberapa
kasus memang memerlukan bantuan profesional. Oke, ini sifatnya membantu saja...
Biasa, ini akan terbagi ke beberapa part ya...
Okey kita mulai...
Nah, untuk awal, sbg manusia kita diberi anugrah
diantaranya pikiran dan perasaan, ya kan? Namun, dalam situasi tertentu, pikiran
dan perasaan yg pertama kali muncul, itu kadang sulit di kontrol (bukan berarti
tidak bisa) tapi untuk mengatur dua hal tersebut, terkadang kita butuh usaha yg
keras. Ya engga? Dan pada sebagian kita, otomatis perilaku kita pun mengikuti
pikiran dan perasaan tersebut. Oke kalau pikiran dan perasaan itu menyebabkan
kita berperilaku yg sesuai (adaptif-mashlahat) namun terkadang justru bahkan
secara tidak sadar, perilaku kita mengalir ke tindakan yg mal adaptif, yg
kurang sesuai dgn situasi dan cenderung merugikan, baik diri sendiri maupun
orang lain.
Pernah aku bahas sblmnya, ada suatu pendekatan
ttg CBT, cognitive behavioral therapy, dimana fokus utama dlm therapy ini adl
menchallange pikiran kita, kita sadari pikiran kita sedang memikirkan apa, dan kalau
dia bersifat irrasional, kita ada effort mendebatnya, membantu pikiran tsb
menjadi lebih masuk akal, realistis dan tdk berlebihan dlm memandang suatu
situasi. Jd dlm pendekatan ini, titik utamanya adl dimulai dr pikiran, maka
nanti berpengaruh ke perasaan dan perilaku. Memang, kita punya kendali penuh
atas pikiran kita. Tp kadang, tdk mudah menanganinya.
Lalu bgmn sudut pandang dlm pendekatan ACT ?
Nah, dlm sudut pandang
ACT, pd beberapa orang, kita cenderung sulit bisa mendestrukturisasi pikiran
tersebut, bukan tidak mungkin, tapi kita akan banyak keluar tenaga dlm
mendebat, meluruskan, memperbaiki pikiran yg mengganggu tersebut.
Premis nya ada tiga. SPT di gambar ke 4.
Oke, sampai sini, mungkin ada beberpa orang yg
ga setuju atas point2 di atas, terutama point ke 2. Dan beranggapan kok seakan2
perasaan, pikiran dan perilaku itu terpisah2 ya.. tidak terintegrasi... Hm...
kalau saya, ga cocok deh kalau pakai pendekatan ACT. Oke, ga papa... Memang
awalnya sy pun ada begitunya... Tapi.. aku tetap ikut webinar ini sampai akhir,
dan woow, spt pada webinar2 lain dr @psylution ilmu webinar dari kak @stefanyvalentia ini pun sgt bermanfaat dan membuat moment
"aha".
Ya, pada beberapa therapy dan metode healing,
ada yg metodenya pikiran dan perasaan yg mengganggu di upayakan untuk di
hilangkan, di buat agar tidak datang lagi, agar tidak lagi mengganggu aktifitas
kita. Misal, ada juga ketika cemas, kita makan obat agar cemas itu hilang, atau
ya tadi, ada pikiran buruk, kita singkirkan... disini, bukan dlm rangka
menyalahkan metode therapy lain, bukan juga menganggap hanya ACT yg terbaik
ya... Tapi ya mungkin saja ada beberpa orang yg cocok dgn cara tsb, ada juga yg
cocok justru pakai pendekatan ACT.
Di ACT justru Hayes beranggapan, kita ga bisa
terus menerus menekan, menghindar, melawan, menghilangkan segala pikiran dan
perasaan yg dirasa mengganggu itu, Hayes ga setuju kalau penderitaan dan rasa
sakit itu harus dihindari terus menerus. Justru penderitaan adl hal yg tidak
bisa kita hindarkan, dan jd suatu yg penting dlm hidup kita. Jadi inget di film
It's Okay not to be Okay (it's rapopo to be rapopo), yg dlm buku "Anak
Laki2 yg Penuh Ketakutan" :
"Kenangan yg menyakitkan, kenangan akan
penyesalan, kenangan saat melukai dan dilukai, kenangan saat dibuang dan
kembali, orang yg bisa sembuh dengan semua kenangan itu akan menjadi lebih
kuat, dan lebih mudah menyesuaikan diri. Orang yg spt itu yg bisa mendapatkan
kebahagiaan, ingatlah dan hadapi, jika tidak, kau akan selalu menjadi anak
kecil dengan jiwa yang tak bertumbuh"
Nah maka dr itu, Hayes
menawarkan metode ACT yg tujuan akhirnya adl psychological flexibility, kita
hadir seutuhnya, terbuka dan menerima semua pengalaman baik yg menyenangkan
ataupun tidak, dan tetap bertindak sesuai dengan Value. Nah yg di garis bawahi
adl bgmn kita bisa menerima semua kondisi diri kita, apapun itu, ya gapapa,
bagaimapun, kita bisa tetap mengarahkan perilaku kita sesuai nilai yg kita
miliki, sesuai dgn pemaknaan yg kita miliki atas tujuan hidup kita.
Jd ingat ttg Umar, yg dulu membunuh anak
perempuannya hidup2, sering bergulat, mabuk dsb, dia tidak berkutat akan rasa
bersalah, pengalaman2 pahitnya, dia ga mendefinisikan dirinya sbg orang pembuat
onar dan maksiat, karena ketika dia tau value hidup dia apa, mengetahui nilai2
kebenaran, ajaran Islam, keimanan pada Allah, cita2 surga, dia ga selalu
terkekang, terpuruk, justru dia keep going, mengarahkan perilakunya sesuai value-nya.
Oke, sampai sini, gmn? Kalau ada yg mau tanya,
silahkan ke @psylution atau kak @stefanyvalentia semoga kedepan ada webinar spt ini lagi ya.
Oke, dr webinar kemarin, yg sy pahami, ada 6
pilar di ACT ini.
1. Cognitive Defusion
Nah maksudnya apa, kita ambil jarak atas
pikiran2 atau perasaan2 yg mengganggu itu, kita fokus sbg pengamat,
mengobservasi kehadiran mereka. Spt pada film, ya kita hanya SBG penonton film
tsb, disana ada adegan2 ttt, ya itu yg terjadi dlm film tsb, apakah kita
menjadi di dlm dan masuk di film tsb? Engga kan. Nah tapi banyak dr kita
mengalami cognitive fusion, spt pada saat menonton, pikiran, perasaan kita
seolah2 ngeblend gitu sama film itu, sampai ikut2 sedih, ikut2 marah, ketemu
sama artis antagonisnya di jalan, kita timbukin dia, nonton Joker merasa kita
spt Joker dan malah jd meniru dia, nah kondisi ikut masuk dan terbawa spt ini,
adl hal yg perlu kita waspadai. Jadi, ketika ada pikiran negative,
overthingking dsb, kita namai mereka misal, aku menamainya Si Merah, ketika dia
hadir, si merah bilang "ngapain sih nulis2 di IG, sok caper, ganggu
Orla" ya.. gapapa, aku sadari aku ada pikiran SPT itu, aku namai dia si
merah, kita tidak menghilangkan, tidak mendebat, ya kita justru pahami, dr
ucapan si merah ini, ada maksud apa...
Si Merah tadi, sebenarnya
ternyata sedang ngasih alert, kalau di medsos, kontennya sebaiknya
diperhatikan, jgn sampai langgar UU ITE dsb. Gpp, ya makasih justru ya udah
diingatkan.
Aku suka sblm ikut webinar ini, di diary ku,
menulis kan semuanya, tapi dgn warna tertentu yg menggambarkan suasana karakter
masing2. Apakah ini jd membuat pribadi lain? Oh tidak...kita sadar kan posisi
nya, bahwa si merah, si hitam, si pink, si biru itu ya bagian dr diri kita
juga..yg punya peranan masing2. Dan di story juga kan keliatan ya hehe.. (dulu
sempet heboh, hehe-yg paham aja-)
Ternyata dr sudut pandang ACT, itu cara yg baik,
akhirnya kita ga terbelenggu dlm negative thought kita.
2. Acceptance v.s experiental avoidance
Pernah denger atau pernah ngalamin, pas kita
waktu masih kecil -atau sekarang pun-, kita nangis dan marah Krn suatu hal.
Lalu orangtua bilang, jangan marah! Jangan nangis, laki2 kok cengeng, dsj.
Akhirnya sampai sekarang kita terbiasa, melarang diri kita merasakan perasaan2
yg kurang nyaman itu, kita memaksa menghilangkan, menekan, memendam,
meniadakannya.
Di webinar @psylution, kak @stefanyvalentia menceritakan perumpamaan yg ciamik. Coba
bayangkan kita sbg manajer hotel, tentu kita akan senang sama tamu hotel yg
ramah, murah senyum, kadang ngasih tip misal, atau ya perilakunya bikin enak
gitu, ga ganggu suasana, kita memberi kamar Luxury sama tamu menyenangkan ini,
Krn kita suka sama mereka, dikasih pelayanan prima, spa gratis, buffet makanan
mewah, dsb. Siip. Eh eh eh...pada waktu lain, ada tamu hotel yg masam wajahnya,
dia bentak2, marah2, bikin onar dan ribut. Tentu, manajer hotel jadi jengkel
dan ga suka kan..karena itu dia ngasih kamar ke tamu ini di gudang, kotor,
sempit, bau, gelap, ada juga bahkan kita usir tamu itu. Kira2, apa yg terjadi?
Auto di demo, tamu tersebut tentu tidak menerima perlakuan manajer hotel dong,
dia makin berang, makin marah, dia bakal pergi sambil marah, akhirnya ga jadi
nyewa hotel, pemasukan hotel berkurang, dia bahkan ngasih bintang 1, bisa jadi
dia memberontak, atau dia juga malah mengajak calon tamu2 lain untuk jgn ke
hotel itu lagi, akhirnya, sepi deh hotelnya. Ya, jadi NUMB, hampa.
Begitupun diri kita,
ketika kita tidak menerima berbagai varian rasa emosi, kita pilih kasih, maka
mereka akan makin mengacaukan diri kita. Padahal, semua emosi, punya peran,
punya pesan baik yg bisa kita dapatkan di balik perasaan dan pikiran tersebut.
3. Contact with present moment v.s past-future
fokused
Nah, ini sering kita bahas ya ... Kita hidup
hari ini, sekarang, saat ini. Yg lalu sudah berlalu, tak bisa di andai2 bisa di
ulang, masa depan pun belum pasti, kita bisa rencanakan, bukan khawatirkan.
Kebanyakan orang malah fokus ke masa lalu, jd
orang yg senantiasa dlm penyesalan, ataupun selalu mengkhawatirkan masa depan
yg membuat dia jd pencemas.
It's Okay kalau kita masih ada penyesalan dan
kecemasan, tinggal apakah kita mau di kontrol sama mereka?
Teknik yg bisa di pilih adl mindfullness,
grounding, teknik 5-4-3-2-1.
Fokus pada :
5 benda yg dilihat,
4 tekstur yg bisa di raba,
3 suara yg terdengar,
2 aroma yg dicium, dan
1 rasa yg di kecap.
Dalam ACT, tujuannya bukan mendistraksi pikiran
dan perasaan, justru bisa merasakan present moment, saat ini. Jadi bukan
sekedar tenang, lega, enteng yg jadi goals. Tapi bisa lebih considered, aware
sebenarnya saat ini, kita sedang apa, merasa bagaimana. Krn bisa jd saat
melakukan teknik ini, kita ga berubah jd enteng, tenang dan lega, kembali lagi,
it's Okay, just accept it.
Thanks to @psylution dan kak @stefanyvalentia
Self as context v.s self
as content
Pd webinar @psylution, kak @stefanyvalentia kembali memberi perumpamaan, ketika dalam
sebuah kelas, yg paling penting utamanya adl adanya siswa, guru nya kan? Dan
tentu perlu ada media, tempat terjadinya proses KBM tersebut. Nah, dlm situasi
ini, diri kita sebenarnya yg mana? Dlm situasi kelas, ada berbagai karakter
bukan? Ada yg sering tidur di kelas, ada yg Corat coret bangku, mengobrol terus
di kelas tak mau mendengarkan guru, sering mabal, nyuri2 kesempatan makan mie
di kelas (wkwk pas SMA ini pernah hihi) ada yg sukanya duduk di depan, aktif di
kelas, ada yg sering bikin ulah, ada yg usil, ada yg hobi ngegosip, guru pun
kan beda2 karakter nya, ada yg mengayomi, ada yg hanya menyampaikan informasi,
tanpa mau peduli muridnya paham apa engga, ada guru killer, ada guru cerewet,
ada guru yg humoris, macam2 kan...
Nah, kalau dlm situasi itu, kita mendefinisikan
diri kita sbg apa? Kebanyakan kita pakai self content, yg memilih, oh aku
ibarat di kelas, aku orang yg rebell, atau aku orang yg antipati, ga mau
dengerin guru, lebih seneng mabal atau tidur di kelas. Ada yg cenderung memilih
salah satu konten dlm kelas tsb. Akhirnya pakai kalimat2 judgemental, aku ya
orangnya pemalas, aku orangnya ambisius, dst, jadi kaku akhirnya, seakan2
begituu...terus, terlalu menjeratkan diri dlm satu sifat di dalam kelas itu.
Di pilar ke 4 ACT ini, kita di sadarkan,
sebenarnya kita kedudukannya adl sbg ruang kelas, tempat wadah semua jenis guru
dan murid. Kita menampung semua itu secara keseluruhan. Kita tidak
mengidentifikasi diri sbg salah satu murid/guru tsb. Karena pada dasarnya,
dalam diri kita punya banyak variasi, didalamnya ada berbagai jenis pikiran dan
perasaan. Ada saatnya perasaan malas, ada juga merasa antusias, bisa juga kita
spt guru yg bisa memberi pengajaran, membimbing, dan sebagainya. Jadi kita adl
wadah yg menampung semua itu, ya kita se kompleks itu.
5. Values v.s lack direction
Values atau nilai, dlm ACT ini maksudnya adl sesuatu yg penting bagi kita,
penuntun, penunjuk arah, motivasi, inspirasi, penguatan diri kita, kita mau di
arahkan ke mana. Kalau dlm sebuah pelayaran, ketika adanya topan badai, values
adl kompas, yg bisa mengarahkan kita menuju tujuan pelayaran kita.
Namun, kita sering menjumpai, orang kebingungan sebenarnya apa ya nilai kita,
values kita apa... Ketika di tanya, jawabnya, ga tau, yah gitu ajah, ga paham
aku sebenarnya menuju apa, mau di bawa kemana arah hidup saya... Mati enggan,
hidup segan.
Ketika mengalami lack direction itu, salah satunya bisa di tanya dlm diri kita,
kita ingin dikelal sbg orang yg spt apa ? Ketika kita meninggal, kita ingin di
kenang sbg orang yg bagaimana?
Walaupun itu masih ingin di pandang oleh orang lain, tapi ya lumayan,
pertanyaan itu bisa jd membantu kita menemukan value kita apa.
Sbg umat Islam, kita dapat petunjuk ttg tujuan hidup kita ini apa, sebenarnya maksud
penciptaan manusia itu apa, ini bisa teman2 pelajari sendiri ya...
Thanks to @psylution dan
kak @stefanyvalentia
6. Commitment action v.s
Stuck / inactivity
Nah, values kita itu hanya sekedar slogan hiasan
dinding kalau kita tdk ada komitmen dan mengaplikasikan nya dlm action kita
sehari2.
Commitment action adl perilaku efektif dan
terarah menuju diri kita yg kita inginkan. Jadi, bagaimana pun kondisi pikiran
dan perasaan kita kacau, hal tersebut tidak harus selalu menghalangi perilaku
kita untuk bisa terarah sesuai nilai yg kita miliki.
Maka, dlm pendekatan ACT ini, lebih kepada
Behavioral Goals, bukan Emostional Goals. Maksudnya apa ? Kadang ada orang yg
ke profesional ingin hilang rasa terpuruk akibat diputusin pacar, ingin hilang
kesedihan, ingin bisa merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Hm... Masalahnya, ukuran bahagia, tenang, nyaman
pun itu ga bisa selalu kita dapatkan secara terus menerus, ga bisa kita
berharap setelah Konsul, tiba2 kita akan jd orang yg bahagia di setiap saat,
waktu kucing kesayangan kita sakit dan mati pun, kita paksa ga boleh sedih,
harus bahagia. Utopis dong saay. Heelow, mustahil! Krn bahagia, senang, marah,
benci, sedih, kecewa itu semua sementara... Ada konteks dan keadaan tertentu yg
melatarbelakangi nya.. gapapa... Tujuan akhir dr ACT ini justru, kita
fleksibel, nerima aja semua dinamika perasaan pikiran itu, tapi kita bisa tetep
take kontrol, untuk komitmen menjalankan perilaku2 kegiatan2 adaptif, efektif
bisa sesuai nilai kita.
Spt dlm webinar @psylution dan kak @stefanyvalentia kita ga bisa menuntut kondisi lingkungan,
orang lain, bahkan pikiran dan perasaan kita selaaaluuuuu bahagia, enak, nyaman
dulu untuk melakukan aktifitas perilaku yg sesuai dgn value kita. Misal, kita
ga bisa nuntut harus selesai semua perasaan cemas, sedih hilang untuk meneruskan
tugas skripsi kita, Krn ya kita sebenarnya bisa melakukannya, tanpa
menghilangkan fakta dlm prosesnya memang bakal banyak tekanan, rasa cemas
dsb...it's oke.. masahnya kita mau komitmen menjalankannya, atau malah milih
stuck dan inactive? Hm...ya semua tergantung pilihan mu, ingat, semua ada
konsekuensinya.
Nah, aku bisa menerima
konsep ACT ini, intinya kita terima segala kondisi diri kita, dan kita terus
bergerak, aktif berperilaku sesuai nilai kita, kita bertumbuh. Kita tdk
didefinisikan oleh bayang2 penyesalan masa lalu kita ataupun kecemasan dan
kekhawatiran akan masa depan kita.
Tapi, kadang ada orang yg bahkan untuk menyadari
akan kondisinya saja belum, boro2 menerima, boro2 tau values hidupnya apa,
makanya...dapat di lihat, output perilakunya pun ya mengalir aja tanpa ada
kejelasan, kesadaran perilaku tersebut sebenarnya mengarah ga sih ke valuenya,
wong valueny aja ga disadari, kondisi dirinya aja ga disadari.
Selalu anggap diri baik2 aja, ga mau ambil
resiko pengorbanan waktu, proses mengolah diri untuk lebih baik. Misal, ya dia
terjebak sama perilaku kecanduan, addict sama games, gadget, pola hidup
asal2an, ga produktif...
Dan parahnya, memandang orang yg ambil action
untuk mendalami diri, memahami, menerima, pengembangan diri, misal minta
bantuan ke profesional, malah di anggap lebay, drama queen, sok2an cari
perhatian, dan kalimat2 penghakiman lainnya.
Ya, melihat fenomena2 oknum spt itu, ya prihatin
dan kasihan sebenernya sama mereka, ya kita coba edukasi semampu kita, tapi
bila mereka tetap tidak tergugah, ya itu 100% pilihan mereka, ga usah kita
paksa. Ya, kita cukup doakan yg terbaik saja bagi mereka.
So.... Yg sekarang sadar dan merasa ada
kebingungan, galau, krisis identitas, merasa sedang mengalami quarter life
crisis umur 25, dsb... dan mau bertindak menjadi lebih baik, mengambil action2
sesuai value temen2, selamat! Kita sama2 berproses ya...
Sekian review yg bisa aku ceritakan,
Makasih banyak @psylution dan kak @stefanyvalentia
Webinarnya begitu bermanfaat, mudah dipahami,
walaupun oleh saya yg awam, bukan dr jurusan psikologi. Haturnuhun.
Comments
Post a Comment