AADA (Ada apa dengan Aku?)
“Buat apa sih kamu posting foto kamu? Ga
ada manfaatnya, nilai dakwahnya apa? Ga ada!” Begitulah kira-kira bunyi DM-an
dari seorang teman. Di sebuah grup dikatakan, “Ngapain sih orang-orang Cuma posting
foto, ga ada tulisan hikmahnya sama sekali, ga jelas” Aku yang berada di
kumpulan itu memerah dan menunduk wajahku, karena saking malunya, merasa yang
ditujukan oleh orang itu adalah akun IG ku. Lalu komentar-komentar senada yang
menyalahkan caraku berekspresi di medsos ataupun di kehidupan sehari-hariku itu
berhasil membuatku ke jurang, tanpa alasanpun kadang aku ada di jurang itu, ini
lagi di tambah komentar nyinyiran seperti itu.
Struggling, kadang lelah dan mau menyerah
saja, sampai pernah “berendam ria” di kamar mandi ga keluar-luar, tahan napas.
Lalu obat-obatan di minum bersamaan karena bosan minum satu satu terus setiap
hari. Tapi ternyata alhamdulillahnya di asrama dulu itu, teman-teman ku support
dan akhirnya aku masih hidup saat ini.
AADA. Bukan AADC, Ada apa dengan Aku?
Dulu, di tahun 2017 masih menyangkal, kaget dan ga terima aku di diagnosis
bipolar oleh Dokter. Aku merasa I’m fine, cuma kadang emosian aja. Tapi
ternyata beda emosi dan mood itu. Jadi berdasarkan apa yang dipaparkan oleh Dokter
@santi_psychiatrist di webinar kemarin malam. Mood itu cenderung bertahan,
sedangkan Emosi itu lebih singkat. (masih bingung? Tanya beliau aja ehehe)
Lalu mengapa gangguan mood itu harus
terjadi padaku? Banyak faktor, bisa jadi genetik, pola asuh
atau dari trauma. Yang intinya faktor-faktor itu menyerang fungsi otak. Ada
cairan-cairan neotransmitter seperti serotonin, epinephrine, norepinephrine, dopamin,
dkk (lanjutnya, baca aja di https://www.sehatq.com/artikel/neurotransmitter-adalah-pembawa-pesan-dalam-tubuh)
yang membuat amigdala seperti mengendalikan kita, bagian otak ini membuat otak
bagian prefrontalkorteks tidak berjalan dengan sempurna. Hey, sampai sini
ngerti ga? Jadi intinya, bagian otak kita yang memproses stimulus dengan
benar-salah, baik-buruk, pertimbangan logika nalar rasional di bajak sama
bagian yang mengedepankan perasaan dan insting, jadinya apa? Perilaku yang
timbul, ya mengandalkan emosi saja, yang berpengaruh ke mood kita jadinya
kacau, susah kita kendalikan. Sedihnya, sedih sekali sampai ke depresi. Senangnya
senang sekali sampai mania. Lihat di gambar.
Jadi pas Mania aku cenderungnya ga perlu
tidur, terus saja berbicara, papah umi harus dengerin aku cerita, dengarkan
ide-ideku sampai jam 3 pagi yang bicara dari jam 7 malam. Ga berhenti, bahkan
sekarang dayah, A Dicki dah jadi korban aku bercerita malam, besoknya aku ga
tidur lagi, aku cerita lagi, kalau mereka sepertinya ngantuk, aku tulis saja
ceritanya, buku-buku cepat habis jadinya. Aku menggambar, nari-nari,
olahraraga, berharap bisa tidur, teh Intan pernah liat aku jam 2 malem
lari-lari di asrama biar aku bisa tidur, aku bicara sendiri dengan cepat, aku
melakukan sesuatu hal dengan impulsif, mau ku apa, aku lakukan, tanpa pikir
panjang.
Seperti datang ke rumah mantanku dulu
(kejadiannya tahun 2019 akhir) aku beli buah, aku mengobrol sama mereka, tidur
di pangkuan ibunya mantan aku. Aku acak-acak rumahnya yang tentu aku rapikan
kembali. Aku siapkan banyak hadiah ke ibu sama yah mantanku, bahkan ke mantanku
aku kasih hadiah jam dari Om fiersa, jam tangan yang cukup berharga bagiku. Aku
berbohong ke orangtuaku kalau aku menginap di rumah nenek, padahal aku menginap
di rumah mantanku. (catatan: mantanku ga di rumah ya, dia di jakarta.)
Kalau aku pikir dan ingat kejadian itu,
aku malu. Oh ya aku ke rumah mantanku itu mengandlalkan ingatanku yang tipis,
aku lupa jalannya, aku nangis di jalan, di teriakin orang gila sama anak-anak
laki-laki. Di marahin orang karena nanya rumah mantanku dimana, tapi aku ga tau
nama orangtuanya siapa. Dan Aku malam-malam disana juga muntah-muntah, itu udah
beberapa hari ga makan, aku makan di muntahin lagi, karena aku anggap ga perlu
lah makan, aku ga mau makan, aku maunya nulis. Disana aku ambil buku kosong
punya mantanku, aku tulis banyak hal, unek-unek dan analisis ku tentang
mantanku kenapa begitu.
Untungnya Bapak orangnya bisa menerima
aku, dia denger semua cerita-cerita ku, dia belikan sate, pas pagi juga dia mau
beliin aku nasi kuning, tapi Ibunya mengusirku. Beliau bilang, “Rohmah, naik
ojek aja, itu di sana (menjelaskan tempat ojek) ada ojek.” Dengan wajah sinis
dan tidak suka. Aku belum sempat sarapan sama Bapak, tapi aku undur diri, aku
jalan kaki lumayan agak jauh ke tempat ojeknya. Dan itulah contoh aku kalau
lagi manik, kadang banyak bertingkah gila.
Kalau depresi, yaitu, salah satu aku putus
dari mantanku dulu juga karena aku depresi (padahal dia tau aku bipolar) tiga
hari tidak menghubungi karena off Hp,
kerjaanku mengurung diri di kamar, diam saja, menangis, intinya ga produktif.
Fase-fase mood bisa di lihat di gambar ya,
dan kadang ada masanya juga rapid cycling, cepat sekali berganti fase moodnya,
bisa dalam hitungan hari.
Dulu, pertama kali tau ini, waktu itu aku
merasa, oh otak aku udah cacat berarti, cairan-cairan di dalamnya error, aku
susah mengendalikan diriku sendiri, aku ini ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), pantas
anak-anak waktu itu mengati ku gila, aku di stigma, bahkan oleh diriku sendiri.
Kasihan sekali papahku, dia juga ikut-ikutan di stigma, Si Rohmah kayak gitu,
ya karena orangtuanya ga ngurus dengan baik. Yang paling jadi beban bagiku
adalah ketika orangtuaku di anggap ga becus ngurus aku. Hey, orangtuaku memang
bukan orang sempurna, memang ada beberapa kesalahannya waktu dulu, bukan itu
penyebab utamanya (jadi mohon jangan sok tahu) tapi ingat ‘Segemuk-gemuknya ikan pasti ada
tulangnya, sekurus-kurusnya ikan pasti ada dagingnya’ oke aku ga perlu panjang
lebar bahas tentang ini.
Dari diskusi bersama
@bipolarcareindonesia, alhamdulillah aku sudah mulai bisa menerima diriku
sendiri, seperti kata Dokter @santi_psychiatrist aku belajar bahwa untuk tidur,
makan itu bukan karena mau saja, tapi itu adalah kebutuhan pokok agar aku bisa
melanjutkan hidup. Otakku perlu istirahat, agar cairan-cairan neotransmitter
itu seimbang.
Lalu dibantu juga dengan pengobatan
farmakologi, apa sih istilahnya, intinya pakai obat-obatan kimiawi itu untuk
membantuku menyeimbangkan cairan di otak, agar aku bisa lebih stabil moodnya.
Kemarin-kemarin kambuh aku ya karena sembarangan putus obat. Tapi kata dokter @santi_psychiatrist,
obat itu pendamping, yang menentukan kita pulih atau engga, ya ada di dalam
diri kita sendiri.
Banyak therapy-therapy non obat yang bisa
membantu kita juga, jadi obat itu bukan selalu jadi utama. Bersama Dokter dan Psikolog
kita di bimbing mengikuti therapy-therapy, seperti CBT, ACT, arttherapy,
journaling, dsb. (aku banyak tahu juga istilah2 therapy ini dari @psylution
yang aku dah ikuti 60an webinarnya) Yang menarik kemarin ada pasiennya Dokter @santi_psychiatrist,
di tunjukan dia buat mood cart gitu, jadi moodnya di tracking, nanti kalau
minimal sudah sebulan, kita bakal tau rumusnya. Ya, kita bisa buat rumus
sendiri, stimulus atau penyebab kita bermood X itu apa, lalu apa yang bisa kita
lakukan agar stabil. Ini mirip emotional scale yang aku buat, tapi bedanya, ini
terekam, terlihat trackrecordnya, habis nulis tulisan review webinar ini, aku
juga mau buat seperti apa yang disarankan dokter @santi_psychiatrist.
Intinya, sekarang aku ga lagi menanyakan “Why
me?” kenapa aku, kenapa aku, tapi aku sekarang lebih mengamati aku kenapa, apa stimulusnya,
respon fisikku bagaimana, apa yang bisa aku lakukan. Karena sekali lagi, yang
menolong kita hakikatnya diri kita sendiri dan Tuhan. Dokter, obat, therapy
adalah alat dan sarana saja. Kalau kita ga mau pulih, walau ada sejuta dokter
bantuin kita, sejuta alat therapy dan obat bantuin kita, ya percuma.
Tiga tahun sudah didiagnosa bipolar, ini
masih perjalanan awal, aku terus berusaha agar pulih dan bisa melawan stigma
dari masyarakat, dengan apa? Dengan Karya. Akhiranya aku buat ide dan cerita
itu ke dalam cerpen dan puisi, aku pernah menang lomba puisi juara 3 se-nasional
di @art.sastra, dan kemarin menang lomba cerpen masuk 50 besar nasiona bersama
@inspirasipena (mau baca cerpennya? Bisa beli buku antologinya loh). Aku sudah
niat dan tekad 2022 aku terbitkan buku. Di tahun 2021 nya aku menulis satu hari
satu halaman, akhir tahun depan selesai bukunya. Alhamdulillah aku belajar
sedikit demi sedikit, menunjukan ODB (orang dengan bipolar) bisa produktif,
berkarya dan bermakna. BismiLlah.
Ganbatte!
Comments
Post a Comment